Rabu, 02 Mei 2012

Al Qur'an Braille Di Indonesia

Asal Mula Al Qur'an Braille Di Indonesia





Kapan pastinya Alquran Braille, muncul pertama kali di negeri ini tak begitu jelas. Setidaknya, ada dua versi yang menjelaskan sejarah Alquran Braille di Indonesia. Menurut Staf Seksi Program Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI), Yayat Rukhiyat, Alquran braille pertama kali muncul di Indonesia sekitar 1954. Alquran yang ada saat itu, merupakan inventaris Departemen Sosial (Depsos) sumbangan dari Yordania.

Namun, Alquran braille tersebut baru berhasil dibaca tahun 1964 oleh seorang juru tik braille Depsos Yogyakarta Supardi Abdi Somad. Setelah itu, Yayasan Tunanetra Islam (Yaketunis) menuliskannya secara manual, sebelum akhirnya bekerja sama dengan Departemen Agama (Depag) untuk memproduksinya secara besar-besaran pada tahun 1973.

Versi lain mengenai sejarah Alquran braille diungkapkan Kepala Percetakan Yayasan Penyantun Wyata Guna (YPWG) Ayi ahmad Hidayat. “Alquran braille sudah dimiliki perpustakaan Wyata Guna sejak lama. Akan tetapi, karena tidak ada yang mengerti cara membacanya, akhirnya hanya disimpan saja di perpustakaan,”katanya.Sampai akhirnya ada seorang pengajar di Wyata Guna Abdullah Yatim Piatu, yang tertarik membolak-balik halaman Alquran tersebut dan ternyata sanggup membacanya.

Apa pun versinya, yang pasti para Muslim tunanetra perlu berterima kasih, karena atas jasa para penerjemah itu mereka kini dapat melek huruf Alquran braille. Kaum Muslim tunanetra pun tidak perlu mengkhawatirkan, adanya perbedaan versi Alquran braille. Sebab, Depag telah mengeluarkan mushaf standar yang menjadi pedoman bagi seluruh percetakan Alquran braille.
“Penyuntingan Alquran braille dilakukan Depag pusat,” ujar Kepala Seksi Pendidikan Alquran dan MTQ Depag Kota Bandung Anwar Sanusi. Meskipun kini Kanwil Depag Kota Bandung telah memiliki seorang pentashih, yang menyunting Alquran sebelum diedarkan untuk dikonsumsi publik, wewenang untuk menyensor isinya tetap dimiliki Depag pusat.

Penggunaan Alquran braille sendiri, telah secara rutin dilakukan siswa pendidikan formal di Wyata Guna, mulai dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi, sebanyak 100 orang. Mereka dibekali ilmu membaca Alquran braille sejak dini, dari level yang paling rendah. Diawali dengan perkenalan terhadap huruf-huruf hijaiyah, berikut tanda bacanya. Pendidikan baca tulis Alquran braille yang diterima murid-murid ini hanya bersifat pengenalan.

Murid yang ingin lebih mendalami ilmu membaca Alquran, bisa mengikuti kelas Kursus Ilmu Alquran Braille (KIAB). Program ini dikhususkan masuk ke dalam pendidikan nonformal, yang diperuntukkan bagi mereka yang berusia antar 15-35 tahun. Sedikitnya, lima orang setahun yang ikut program ini. “Jumlahnya memang sedikit, karena amat tergantung pada minat dan kemampuan siswanya,” kata Koordinator Humas Wyata Guna Suhendar.

Dalam sepekan, enam kali murid-murid ini bergabung di kelas KIAB. Sejak pukul 7.30 WIB, mereka telah siap dibekali ilmu-ilmu agama Islam. Tak hanya cara baca tulis Alquran yang diajarkan, ilmu tauhid, syariat, fikih, tafsir, dan hadis pun turut disampaikan. Setidaknya, ada tiga instruktur yang bertugas mengawasi murid-murid ini selama pelajaran. “Tapi, bisa lebih efektif kalau bimbingan dilakukan secara individual, karena mengetahui perkembangannya langsung,” ujar salah seorang pengajar Tine Gustini.

Karena, satu set Alquran braille begitu tebal, seorang murid hanya perlu membawa satu jilid bagian juz yang tengah dibacanya saja. Satu juz biasanya terdiri dari 40 sampai 80 lembar. Lengkap dengan terjemahan dalam bahasa latin, yang terdapat di bagian belakangnya. “Tujuan kelas ini hanya untuk melancarkan pembacaan Alquran saja, tanpa mewajibkan siswa harus khatam,” kata Suhendar lagi. Namun, bagi mereka yang rajin dan tak hanya mempelajari Alquran di kelas saja, bukan tidak mungkin bisa khatam dalam satu tahun. Karena, pada dasarnya waktu yang dibutuhkan seorang normal dan tunanetra untuk membaca Alquran, dengan versi tulisan yang beda, sama saja. Bukan berarti terbatasnya kemampuan para tunanetra ini menghambatnya saat membaca Alquran.

 “Sebenarnya, mudah saja membaca Alquran braille. Tidak ada bedanya
dengan membaca Alquran untuk orang awas (normal-red.),” kata Suhendar yang kehilangan penglihatannya saat di bangku kuliah. Orang normal pun, katanya, bisa saja membaca Alquran braille dengan gampang. Caranya, bisa dilakukan dengan menghafal kode angka atau bentuk titik yang tercetak, untuk melambangkan suatu huruf atau tanda baca tertentu.

Untuk huruf hijaiyah pun sama saja. Misalnya huruf alif, dilambangkan dengan satu titik di sisi kiri paling atas dan bisa dikodekan dengan angka 1. Sementara,huruf ba dibentuk dari dua titik yang berada berjajaran di sisi kiri paling atas dan tengah, dengan kode angka 12. Demikian seterusnya.

Dengan menghafal kode atau posisi dari masing-masing huruf pun, mereka yang normal bisa ikut melantunkan ayat-ayat suci dengan membaca Alquran braille.
Setelah setahun program pendidikan, para siswa ini akan diberikan sertifikat yang menyatakan mereka telah fasih membaca Alquran braille. Di dalam sertifikat tersebut, akan terdapat sejumlah angka tertentu yang merupakan nilai yang diperoleh siswa dari setiap mata pelajarannya.

Diakui Tine, selama lima tahun mengajar kelas KIAB di Wyata Guna, ia selalu mendapatkan murid yang menonjol. “Karena, yang ikut kelas KIAB umumnya pernah menjadi murid pesantren,” ujarnya. Murid pesantren, kata Tine, sudah ada bekal hafalan Alquran di luar kepala, sehingga ia hanya tinggal memperkenalkan bentuk tulisannya saja dalam braille.

Sumber:
    Pikiran Rakyat
    Percetakan Braille yayasan penyantun Wyataguna
    Balai Penerbitan Braille Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer

Jadwal Sholat